karena dari mata turun ke kaki



poverty history

Semalam saya bertemu J dan T, teman lama. lama sekali. sewaktu lama masih bernama lama. kami berbincang kosong dengan mata setengah ngantuk di depan kampus sastra. mengulang sedikit yang pernah kami lalui bersama. mengulang bau malam, di depan kampus ber-puing sejarah lambang perlawanan semarang.

Tidak banyak yang berubah, apalagi untuk ukuran kawan-kawan yang meyakini prinsip nya benar dan tidak bisa di ganggu gugat. arah pembicaraan, alur obrolan, dan kemana mau melangkah jelas-jelas menyimpan ruh yang sama, ruh melawan kemapanan. dan tentunya anda sekalian sudah bisa menebak tema dari pembicaraan tiga orang gembel di malam di tengah jaman yang di atur menjadi tenang ini. yaitu kami, kemiskinan.

Beberapa hari lalu salah satu pemilik saham perusahaan saya mengadakan seminar motivasi untuk para karyawan. inti dari semua yang beliau sampaikan adalah pola pikir positif dan negatif serta pengaruhnya pada jalan hidup kita. tetapi hal yang membuat saya bangun diantara rasa kantuk mendengar ceramah beliau adalah ketika beliau mengambil contoh tukang becak yang menjadi miskin karena pola pikir nya yang negatif dan ketidakmauannya menjalani hidup yang lebih baik. ada semacam amarah dari dalam diri saya mendengar hal tersebut, karena kemiskinan dalam kasus negara kita adalah proses membuat masyarakat menjadi miskin, jadi mari selanjutnya kita gunakan kata depan Pe- sebagai pengganti kata depan Ke-, yaitu dari KEmiskinan menjadi PEmiskinan. bahwa masyarakat memang di-design untuk menjadi miskin oleh segelintir orang yang merasa berkuasa untuk di-eksploitasi demi memperkaya diri mereka sendiri. sehingga menurut saya terdapat banyak sekali faktor di luar diri orang² miskin tersebut yang memaksa nya menjadi miskin, tentunya di dominasi oleh sistem ekonomi serta politik yang lagi-lagi berada di tangan segelintir orang yang menumpuk hartanya dalam perut sendiri tadi.

bukan keinginan kami menjadi tukang becak, pemulung, serta buruh dengan upah rendah sehingga menjadi miskin. tapi kami susah mencari pekerjaan yang layak, yang sesuai dengan keahlian kami. susah mendapat keuntungan yang setimpal, susah menjadi bahagia.
karena di negeri ini di butuhkan kuli-kuli yang berpendidikan untuk bisa mencapai posisi itu. dan di negeri ini pula, untuk menjadi kuli berpendidikan di butuhkan biaya yang tidak murah, karena pendidikan pun di per-jual beli kan dengan harga yang tidak bisa kami penuhi dengan kantong kami yang kempes dan kere. pendidikan hanya mimpi di siang bolong. lalu bagaimana bapak-ibu kami yang tidak berpendidikan bisa memberi kami pendidikan. karena sejak kakek-nya kakek sudah tidak berpendidikan untuk bisa mendidik anak-cucunya. kami bangsa bodoh, bangsa kuli, bangsa kempes, bangsa kere. sudah di bikin seperti ini dari dulu. tidak maju-maju, padahal pikiran kami sudah sangat maju karena diiming-imingi semakin gemerlap nya dunia. stagnan. bahkan merosot dari jaman ke jaman [persetan dengan pembangunan]. jadi bisa apa?

Saya ceritakan hal tersebut kepada kawan². lalu kawan J bilang, bukankah dengan kenyataan ini kita sudah sadar? bukankah semua orang sudah sadar? tapi kenapa masih banyak yang tidak melakukan apa² dibanding yang melakukan apa²? iya. tapi mengapa banyak yang ikut arus ketimbang yang melawan arus? iya. mengapa masih banyak yang onani otak ketimbang yang bergerak? dan mengapa masih banyak yang seperti saya ketimbang yang seperti dia? mengapa?

karena banyak resiko nya, Je, jawab saya. itu pasti. tidak banyak orang berani mempertaruhkan hidup nya untuk orang lain. tidak banyak yang berani tulus. tidak banyak. tidak banyak yang menolak menjadi miskin.
lho? padahal dalam diri kita sangat ingin menolak menjadi miskin bukan?
iya. lalu kenapa diam?

saya jadi kembali bertanya apakah amarah saya memang beralasan ketika tidak sepakat dengan apa yang pemilik saham perusahaan saya sampaikan? kata beliau "semua yang terjadi di dunia ini bisa terwujud dari pola pikir kita, apakah kita mau atau tidak", tapi kalau nyatanya begini, apakah benar orang indonesia tidak ingin lepas dari kemiskinan? karena diam saja ketika DI-miskin-KAN? semesta mengamini apa yang kita inginkan, kalau kita masih ingin miskin maka semesta mewujudkan. bukan kah begitu?

Kami pulang sebelum tengah malam, hawa dingin dan kantuk menusuk. pulang, istirahat. jangan sampai sakit, kalau sakit nanti siapa mau bayar biaya dokter? orang miskin di larang sakit.


Ucapkan Kata-Katamu
::wiji thukul::

jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan

jika kau tahan kata-kata mu
mulutmu tak bisa mengucapkan apa mau mu
terampas

kau akan diperlakukan seperti batu
di buang di pungut
atau di cabut seperti rumput

atau menganga
di isi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian

jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan

kemasan-kentingan-sorogenen


Labels:

« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

4 Comments:

At 10/06/2007 08:06:00 PM, Anonymous Anonymous said...

inget ga, tunduk ditindas atau bangkit melawan sebab mundur adalah pengkhianatan?
diem pun sebenernya adalah pengkhiatan...bukan emas!

*ngomong emang gampang put, tapi saat terdesak, kadang2 saya pun diem. ternyata, saya ini pengkhianat

 
At 10/06/2007 08:09:00 PM, Blogger Puput said...

ya, bu. kita yang disini semuanya pengkhianat dan pecundang.

 
At 10/07/2007 12:35:00 AM, Anonymous Anonymous said...

baca di mana yak? mungkin di bukunya Richard Dawkins "Selfish Gene"; rayap itu yang ratu ya tetap Ratu sampai mati, yang rayap pekerja ya pekerja sampai mati. Alam membagi DNA-nya secara 'tak adil'.

Berharap saja kode genetik primitif yang sial itu tak muncul di generasi manusia sekarang.

 
At 10/08/2007 07:50:00 AM, Blogger Kian said...

dirimu lulusan sastra to de...

hmmm...aq bukan tipe org yg bisa mikir mpe dalem seperti kalian..

simpel aza..berpikir tuk benahi diri..setidaknya dgn begitu bisa memberi teladan ke orang lain

 

Post a Comment