karena dari mata turun ke kaki



pembebasan

Namaku pembebasan. Nama yang aneh untuk seorang perempuan. Ibu ku yang berusia senja bilang ayah lah yang memberiku nama itu. Kalau aku tanya mengapa, beliau akan jawab 'aku tidak tau'. 'Jangan bertanya padaku tentang ayahmu', demikian lah lanjut ibu. Karena semua tentang dia, aku tidak benar-benar tau.

Ibu bertemu ayah di sebuah kedai di pinggir pantai. Mereka adalah kawan sepermainan yang lama tak jumpa. Tanpa bertanya kabar, ayah menggumam pada ibu "aku sedang patah hati", ibu menatap nya heran, "aku juga" sahut ibu. Mereka bertatapan. "Bukankah dua hati yang separo akan utuh jika di gabungkan? mari menikah", ajak ayah.

Malam pertama ayah tidak mengajak ibu bersenggama, melainkan mengangkat sebuah bangku panjang, dan menaruhnya di pinggir pantai, beliau menggandeng ibu dan mendudukkannya disana. Mereka bercerita. Menambal lubang pengetahuan yang hilang sejak mereka tak jumpa. Angin laut di malam hari tidak ramah sama sekali, tapi ibu merasa hangat. Bukan kah itu yang selalu di tunggu perempuan, pengertian, bukan sekedar percintaan. Setelah lelah bercerita ibu menyandarkan kepala di bahu ayah. Mereka tertidur hanya bergenggaman tangan di malam pertama, cinta utuh tanpa bersetubuh.

Awalnya ayah ku pedagang gedhek, biasa mangkal di hari pasar pahing. Tapi ia tak pernah tahan dalam satu pekerjaan. Lalu ia jadi tukang andong, ia mengemudikan andong ndoro Sarjan ngetan ngulon. Entah mengapa dia ganti kerja lagi, jadi buruh tani biasa. Ibu ku bertanya mengapa ia tak bisa kerasan, ayah ku bilang ia suka demikian, yang penting halal dan anak istri masih bisa makan.

Waktu aku usia setahun, ayah ku hilang. Ibu ku kelabakan. Ia tanya tetangga kiri kanan, teman-teman yang jualan di pasar pahing'an, tukang-tukang andong pinggir jalan, dan sesama butuh tani, tapi tetap tak ada jawaban. Mereka menggelengkan kepala, tutup mulut meski ibu curiga mereka tau jawabnya.

Bertahun-tahun ibu membesarkanku sendirian. Usia sepuluh tahun aku tanya dimana ayah, ibu jawab 'aku tidak benar-benar tau'. Usia empat belas ku tanya siapa ayah beliau jawab 'aku tidak benar-benar tau'. Usia tujuh belas ku tanya apa yang ayah lakukan sampai ibu tidak tau, beliau jawab 'aku tidak benar-benar tau'. Usia dua puluh aku berhenti bertanya, tapi suatu hari ibu berkata 'jangan jatuh cinta pada orang yang kau tak tau apa-apa tentangnya'.

Namaku pembebasan. Nama yang aneh untuk seorang perempuan. Ibu ku yang berusia senja tiba-tiba bertanya, mengapa nama ku pembebasan. Ia tebaring lemah dengan penyakit tuanya. Ku jawab, tunggu, bu. Ku cari jawabnya untukmu.

Orang yang ku temui pertama adalah Pak Jarwo, waktu pertama ayah ku jual gedhek, beliau punya warung soto. Beliau satu-satu nya orang di masa itu yang tersisa. Yang lain meninggal dunia. Beliau bilang ayah ku orang ulet. Ia menebang sendiri bambu di pinggir kali, membelahnya dan menganyamnya dengan rapi, buat di jual di pasar desa. Suatu hari ayah ku tak suka dengan sistem jual beli lewat tengkulak. Meski bukan ia sendiri yang langsung berhubungan, melainkan para bakul beras di pasar pahing'an. Jaman edan kata orang. Paceklik tak pernah bisa diajak kompromi. Kemarau panjang membuat petani merugi, tapi karena tak ada subsidi mereka terpaksa menjual beras nya kepada tengkulak. Tengkulak-tengkulak itu membeli dengan harga rendah sekali tapi menjualnya dengan harga langit yang tinggi. Ayah ku tak suka, ia lelah mendengar omelan petani penjual beras di belakang saja, ia mengumpulkan mereka, mengajak nya minta bantuan kepala desa. Tapi tak di gubris. Petani-petani itu berubah bengis, mereka membuat kepala desa marah sekaligus miris. Suatu hari dagangan gedhek ayahku di bakar orang. Ayah ku berhenti jualan. Pak Jarwo bilang ayahku orang baik, hanya saja kelewat usil ngurus urusan orang. Sebelum kami berpisah beliau berkata "bapakmu membebaskan orang lain untuk berpikir bebas, ia pahlawan". Lalu aku pamit pulang. Satu jawab teka-teki telah ku temukan.

Orang kedua yang ku temui adalah lek Tarji. Teman semasa ayah jadi tukang andong. Ia tak begitu paham bagaimana ayah ku. Tapi beliau bilang ayah ku sering membawa andong ke luar desa, mungkin ke kota kabupaten. Tak ada yang tau apa yang ayah lakukan disana. Hanya saja sepulang dari kota ayah selalu punya banyak berita untuk bahan cerita. Ayah ku menjadi koran bermulut di jamannya.

Orang terakhir yang aku cari atas saran orang-orang yang ku tanyai adalah Haji Salim. Ia pemilik sawah dimana ayah ku pernah jadi buruh nya. Ia menerima kedatanganku dengan raut muka tidak suka. Tapi setelah ku tanya baik-baik ia sedikit bisa diajak bicara. Ia bilang ayah ku kemaruk, serakah. Ayah ku tidak puas dengan gaji yang di beri pemilik sawah. Haji Salim menambahkan bahwa ayah ku suka ikut campur urusan orang. Ia mengompori petani-petani kecil yang tanah nya di minta pemerintah untuk kelancaran pembangunan. Ia membuat petani-petani itu sok tau tentang hukum. "dasar orang miskin belagu", tambah Haji Salim. "kalau demonstrasi ya harus tau diri. lebih baik di bayar pemerintah toh, nak? daripada di rampas paksa? iya toh? kamu kan anak muda berpendidikan pasti lebih tau hal itu. lalu bagaimana kabar ibu mu setelah ayah mu pergi? kalau begitu jadi nya yang rugi kan anak bini". Aku berpamitan setengah geregetan, ku tarik kesimpulan, bahwa ayah ku hilang karena membela kebenaran.

Ayah ku bukan pedagang besar atau mantri kesehatan. Ia hanya tau mana salah mana yang harus di luruskan. Ia bukan orang dari sekolah tinggi, ia hanya tau bagaimana bicara dengan hati nurani.

Ibu ku yang berusia senja terbaring menunggu ku dengan harapan yang setengah-setengah. Mungkin ia takut mengetahui apa yang sudah aku temui. Lalu aku bercerita tentang pak Jarwo sampai haji Salim. Ia mendengarkan dengan wajah tenang seolah itu lah dongeng yang ia harapkan.

Ibu minta "tanyalah aku lagi siapa ayah mu, nak", lalu ku ulang pertanyaan ketika usiaku empat belas tahun.
"aku baru ingat, setelah berpuluh-puluh lembar kalender kita ganti, pada malam pertama ku minta ia menceritakan siapa dirinya, ia menjawab 'aku bukan siapa-siapa, aku hanya orang berhati bebas'"

"tanyalah aku lagi mengapa nama mu pembebasan, nak", lalu ku ulang pertanyaan yang tiap hari menghuni kepala ku.

"karena ia berhati bebas, ia pun ingin aku berhati bebas. karena ada engkau, maka ia juga ingin kau berhati bebas. maka dengan begitu kau harus membebaskan hati mu dalam menjalani hidup, bukankah nama adalah doa, doa itulah yang ia beri sepanjang hidup mu, kau bebas anak ku"

Kalimat terpanjang yang ibu ucapkan sejak usia nya menginjak senja. Kemudian ia pergi dengan bebas menuju ayah ku yang mungkin menunggu nya di dunia lepas. Lalu ku makam kan beliau di petak tanah sambil membayangkan ayah ku di kuburkan dalam liang yang sama, liang kebebasan.

Itu lah mengapa nama ku pembebasan. nama yang aneh untuk seorang perempuan, bukan? ah, lagipula apa beda nya, bukankah kebebasan milik semua orang.


-p-

sorry ga sabar nunggu senin mu, pak

Labels:

« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

0 Comments:

Post a Comment