karena dari mata turun ke kaki



The Gold Puzzle

Beberapa hari lalu kami ke makam bapak. Selain memang acara rutin menjelang ramadhan, rasa-rasanya kami memang kangen ketemu bapak. Sampai di makam, seperti biasa, kami hanya menunduk sebentar, entah berdoa entah menggumam entah sekedar melamun. Banyak hal tak terkatakan, semoga saja bapak tau.

Bagi kakak saya bapak adalah sosok nyata yang hebat. Jadi tidak aneh melihatnya sedikit lama termenung memandang nisan bapak. Sedang bagi saya pribadi sosok bapak hanya semacam satu keping puzzle diantara ribuan keping puzzle lain yang berserakan. Bahwa tanpa satu keping tersebut maka mustahil puzzle itu bisa sempurna, tapi saya tidak tau di bagian mana kah keping tersebut harus saya letakkan, atau seberapa penting kah keping tersebut diantara keping-keping yang lain.

Mendiang bapak bagi saya seperti mitos tanpa berhala. Beliau meninggalkan kami saat saya masih berumur 6 tahun, baru masuk sekolah dasar kelas satu. Jadi apa yang bisa tersisa dari anak kecil seusia itu? Tapi masih segar saya ingat bahwa bapak saya pendongeng yang hebat. Beliau punya seratus versi cerita kancil yang setiap kali beliau ceritakan merupakan petualangan baru bagi saya, padahal mungkin bapak cuma mengulang-ulang dua atau tiga versi, tapi untuk ukuran anak sekecil saya waktu itu, bapak boleh lah di bilang ahli mendongeng, cerita kancilnya banyak sekali. Dari kancil mencuri timun pak tani sampai kancil lomba balapan lari dengan keong. Kalau bapak mulai ketiduran karena lelah mendongeng, saya diam-diam menyelinap keluar kamar, mencari saudara sepupu saya, mengajaknya bermain menyobeki kembang sepatu milik kakek di samping rumah. Beberapa jam kemudian bapak menyadari saya tidak ikut terlelap disampingnya mulai lah beliau ribut memangggil mamah, menanyakan dimana saya. Lalu mamah mencari, menemukan dan memarahi saya, tapi bapak datang membela saya. Bapak memang pahlawan. Dulu bapak suka bilang kalau saya seperti anak laki-laki. Ketika mamah mengandung saya bapak memang mengharapkan lahirnya anak laki-laki. Karena ke-empat anak sebelumnya semuanya perempuan. Saya terlahir perempuan, tapi saya memang laki-laki waktu itu. Hiperaktif dan merepotkan. Bapak sangat sayang pada saya, pada kami. Bapak saya orang baik.

Mendiang bapak saya playboy, Don juan, Casanova, atau apapun sebutannya. Laki-laki, bukankah semua begitu? Bapak saya necis, bapak saya gaya, bapak saya fashionable pada masanya. Jadi jangan salah kalau banyak perempuan tergila-gila atau laki-laki hormat pada beliau. Bapak saya laki-laki hebat. Terlepas dari betapa konvensional dan patriarkis nya beliau. Bapak saya orang baik.

Kalau bapak pulang larut, deru mobil nya merupakan pemicu degup jantung buat kami. Yang saya ingat mamah membukakan pintu, entah sambutan apa yang beliau beri untuk bapak, senyum kah atau wajah kecut kah. kesimpulan yang saya dapat hanya bahwa perkawinan terkadang menyakitkan. Bagi yang berkawin, dan anak-anaknya. Tapi bapak selalu pulang. Laki-laki, bukankah semua begitu? Mereka boleh pergi keliling dunia, tapi selalu punya satu tempat yang di tuju, rumah, pulang. Dan bapak selalu pulang. Bapak saya orang baik.

Kalau bapak tidak ke luar kota beliau suka mengajak kami jalan-jalan sore, membeli roti bakar. Bahagia sekali. Hebatnya kotak ingatan saya, saya masih bisa mengingat memori indah itu. Lalu kami akan pulang kalau tiba adzan maghrib, senja. Kalau bapak keluar kota, senja itu mamah akan mengendong saya di luar rumah kakek. Bernyanyi lagu entah, suara mamah suara terindah, meski saat saya dewasa baru saya tau mamah tidak bisa bernyanyi, mamah buta nada. Juga saat bapak sudah meninggal, mamah masih sering menina bobokan saya di luar rumah kakek. Sendirian. Entah apa yang mamah nyanyikan. Rindu kah, kehilangan kah. Terkadang mamah terbangun di larut malam ketika dalam tidur ayam nya beliau mendengar deru mobil bapak. Padahal bapak sudah pergi. Di culik oleh maut. Mungkin itu satu alasan mengapa saya tidak menyukai senja, saya cenderung menghindari senja. Saya takut dan benci pada senja. Mungkin itu yang saya pikir mamah rasakan ketika bapak pergi. Senja, bagi saya tidak pernah menyenangkan. Senja membuat saya miris bahwa hidup tidak pernah selalu manis. Siapa bilang istilah "sampai maut memisahkan" itu romantis? tidak, mamah saya memendam rindu yang sangat pada cinta sejatinya karena maut tidak pernah kompromi. Mamah sangat mencintai bapak. Karena bapak saya orang baik.

Saya jarang menangisi bapak. Meski saya rindu. Kalau pun saya menangis kemudian saya tertawa setelahnya. Karena saya tidak tau untuk apa saya menangis. Bahkan ketika bapak di tanam jasad nya pun saya tidak menangis. Untuk anak usia 6 tahun, apa yang patut di tangisi? Meski bapak saya orang baik.

Enam belas tahun. Tidak berubah dari tahun ke tahun ketika saya mengunjungi makam bapak. Tidak ada yang saya ceritakan. Tidak ada lagi yang saya keluhkan. Selain doa tentunya. Diam saya memang berarti diam. Tapi untuk mengerti arti bapak saya memang butuh enam belas tahun menjalani kehidupan tanpa sosoknya. Bahwa bapak memang satu keping puzzle diantara ribuan keping puzzle lain yang berserakan. Bahwa tanpa satu keping tersebut maka mustahil puzzle itu bisa sempurna, tapi saya tidak tau di bagian mana kah keping tersebut harus saya letakkan, atau seberapa penting kah keping tersebut diantara keping-keping yang lain. Karena ternyata keping tersebut berwarna emas, diantara keping lain yang berwarna datar merah kuning hijau ungu. Warna tidak terduakan. Warna yang satu-satunya. Semoga saja bapak tau, bahwa saya selalu menghayati lima belas menit untuk selalu mengingat dari mana asal saya. Dari benih emas, benih orang baik, ya karena bapak saya emas, bapak saya orang baik.
^^

*puasa, pah. pulang?



Labels: , , , ,

« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

1 Comments:

At 9/12/2007 08:49:00 AM, Anonymous Anonymous said...

merinding aku, ndhuk. jangan lupa selalu kirim doa buat bapak dan mamah, ya? bapakmu pastilah orang hebat, dan apa yang paling membahagiakan dan membanggakan bagi para orang tua selain punya anak sehebat dan setangguh kamu?

met puasa, maaf lahir batin.

 

Post a Comment