karena dari mata turun ke kaki



kotak kaca dan keajaiban

Sebulan lalu pertama kali aku lihat engkau. Di balik kaca etalase sebuah toko ber-cat hijau. Setelah tikungan dekat jembatan. Malam pertama kau pakai rok biru dengan bandana bulu. Sesaat aku terkesiap. Cantik sekali. Mata mu bundar hitam, pipi mu merah muda ranum, bibir mu menggumpal sensual, rambut mu lurus pendek, saat itu terkuncir asal-asalan. Gaya casual anak muda jaman sekarang. Hanya sesaat aku tercenung, karena senja sudah mulai menggerutu, ikan ku di gubug menunggu.

Sejak saat itu ku sempatkan lewat jalan menikung dekat jembatan, dua blok lebih jauh dari yang kebiasaan. Demi engkau, dan mata bundar mu. Setiap dua hari sekali baju mu selalu baru. Terkadang celana ketat dan tank-top seperti bintang pop , terkadang gaun mini seksi, terkadang rok balon yang membuat wajahmu seperti bocah belasan tahun. Seringkali kamu pakai topi aneka warna, wajah ceria sering pula semakin merona. Suatu waktu high heels-mu merampok perhatianku, kaki mu jenjang membuatku iri dan ragu. Setelahnya kaki mu terbalut boots, menutupinya hingga membuatku merengut. Hanya dua menit ku sempatkan terpanggang pesona mu, karena senja selalu menggerutu, ikan di gubug lapar menungguku.

Pernah pula satu malam sehabis lembur kerja, penat benar ingin aku bercerita, persetan ikan kelaparan di gubug sendirian, dengan sekaleng soda dan sebungkus tembakau ku duduk kan pantat di pinggir jembatan, meracau tanpa tepi seperti buih di kali, tidak ku mabok, hanya saja aku senang memandang mu, seperti tertohok, kalau saja kamu bisa terwujud menemani ku berbagi dan merokok. kalau saja kamu nyata. sedang masuk toko mu saja aku enggan. seperti pergi ke dunia yang tidak aku tahan. fashion membunuh ku, sayang. seperti racun tikus yang mematikan. lalu bagaimana cara agar ku bisa bersamamu? bersentuhan?
Dini hari membentak ku, katanya "pulang! ikan mu butuh makan!"

Dan kemarin malam aku ditusuk keajaiban. Setelah lunglai soal pekerjaan dan perasaan, aku seret langkahku pulang, seperti biasa aku ingin lewat itu tikungan. Bertemu dengan mu, pacar imaji. Kau memang disana, apa Pinokio berbaik hati meminjamkan peri?

Kau kenakan sweater berwarna entah oranye entah kuning tai, dengan pinggiran entah marun entah burgundi, berkerudung selendang coklat tua, celana jeans dan sandal berbentuk jamur. kamu tersenyum setengah berteriak 'hai! akhirnya kamu bertemu aku!', setengah pula ku rasakan pipi mu menyapa pipi ku, kau ada, kau nyata, kau di depan ku.
'lalu kemana kita bisa menggila?', tanyamu. Terserah, jawabku, setengah terngungu. Masih serba setengah ketika kau gandeng tanganku.
kita temukan diri kita terduduk di pinggir kali di bawah jembatan, setelah kita beli seplastik teh hangat untuk mu, dan tentu nya kopi-kali itu tanpa krim-untuk ku. 'Duduk sini sini sini, kita bercerita' ajak mu ceria. Lalu mendongeng lah kamu, ku tatap bisu.

Bibirmu menggumam tentang dunia yang abu-abu, hidup penuh perjuangan, perjalanan panjang tidak selalu mulus, resiko hidup, bahwa untuk sampai di titik ini kita harus tertatih dari titik yang dulu, tentang keberanian, tentang ketegasan, tentang wejangan dan pantangan, tentang tubuh perempuan bersemayam Tuhan, tentang kau dan aku, terpilih untuk menguatkan.

Ku habiskan rokok ku ya sayang, sembari ku dengarkan kau memberi banyak masukan. Ya, katamu, meski aku tidak suka asap nya. Lebih baik tidak kau rusak tubuhmu, kata mu lagi sambil melucu. Haha, sahut ku, sambil menghisap batang ke tujuh.

Adzan subuh berkumandang. Kalau saja waktu bisa kita putar balikkan , lalu kita hentikan semau kita, lalu kita jalan kan secepat nya, lalu kita kembalikan lagi ke semula, lalu kita stop(!) biar kita masih bisa terus bersama. Atau setidak nya kita berpura-pura tidak memperhatikan waktu yang merongrong kita memperingatkan tentang peputaran dunia. argh! Kau bilang sudah waktu nya kembali ke kandang. Sihir sebentar lagi hilang. Saat nya berpelukan. Cium pipi kiri pipi kanan. Kita sempat punya waktu berbagi harapan. Aku diam saat kau beranjak setelah tegukan teh terakhir. Melambai tenang dan berlalu. Malam itu air kali tak ber-buih. Limbah rumah tangga istirahat berproduksi. Bisik ku pada angin yang semoga mengantarkannya pada mu, terimakasih sudah datang, kemudian pergi.
Sebentar lagi pagi, kasihan kalau ikan ku mati.

Sekarang aku mulai mengerti, ada yang tidak bisa selalu terpenuhi tapi Tuhan tidak pernah lari dari janji. Ia sepanjang Doa katamu, karena segala nya sudah sesuai porsi. Tuhan memberi indah tentu ada saat nya, agar bahagia tidak kehilangan rasa. Dan keajaiban bukan hanya dongeng antara putri dan pangeran. Kau pernah datang, dan itu lebih dari cukup dari yang pernah ku bayangkan.

Hari demi hari sayang, kau masih di balik kaca etalase toko ber-cat hijau di balik tikungan dekat jembatan. Setiap senja menggerutu, masih ku sempatkan melewati mu. Manekin, tak bisa lama seperti dulu, hanya sekilas. Ikan ku lapar, ku harus bergegas.



semarang, 19 Agustus 2007
cerita buat Ndronjong

Labels:

« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

2 Comments:

At 8/20/2007 07:11:00 AM, Anonymous Anonymous said...

hmmmm...teman imajiner. butuh temen yang maya tapi nyata, gak? :D

btw, selamat belajar! ojo kakehan nglamun sing ora2!

 
At 8/21/2007 11:21:00 AM, Anonymous Anonymous said...

he? tar dituduh lesbong lagi, huahahaha!

 

Post a Comment